Rabu, 05 April 2017

Akan Kuterima Maaf Suamiku Setelah Torehan Luka Perselingkuhan Itu...

Akan Kuterima Maaf Suamiku Setelah Torehan Luka Perselingkuhan Itu...
Mungkin aku yang bersalah, mungkin aku yang selama ini terlalu sibuk dengan pekerjaanku sebagai salah satu manajer pusat perbelanjaan papan atas Jogja. Target pekerjaan dan tuntutan performa tinggi dari karier dan jabatanku, membuatku sering meninggalkannya hanya bersama Adit, anak laki – laki kami. Terlebih aku juga menderita penyakit bawaan lemah jantung. Aku mungkin tak begitu memuaskan keinginan dan kebutuhannya dalam hal melayaninya sebagai seorang istri. 

Mungkin juga ini karena kekhilafannya. Berhubungan terlalu dekat dengan koleganya, lalu bertukar cerita dan berbagi hati. Akhirnya ia terhanyut dalam permainan asmara dengan sesama karyawan hotel berbintang yang seringkali memunculkan kisah-kisah perselingkuhan di dalamnya. Atau mungkin juga karena ini memang sudah suratan takdirku sebagai perempuan yang harus diselingkuhi oleh suamiku sendiri dengan seorang perempuan yang notabene juga dalam statusnya sebagai istri orang lain. Miris, namun itulah yang terjadi dan menimpa diriku, 3 tahun lalu.
 
Sebut saja perempuan itu dengan nama Evi. Perempuan sekaligus seorang ibu yang belum lama menginjakkan kakinya di Jogja untuk menemani suaminya yang memutuskan kembali ke kampung halaman setelah kebangkrutan bisnis mereka. Bersama kedua anaknya, Evi dan suaminya memang harus memulai kembali dari nol kehidupan mereka. Dengan niatan membantu mencari tambahan penghasilan bagi keluarganya, Evi pun akhirnya bekerja di sebuah hotel berbintang di Jogja. Dari situlah awal mula suamiku mengenal Evi. Selain karena mereka sama-sama berstatus karyawan hotel berbintang, mereka pernah bertemu dalam satu peristiwa yang aku tak tahu persis seperti apa jalan ceritanya. Yang pasti setelah peristiwa itu mereka menjadi semakin dekat dan semakin akrab. Terlebih pada saat mereka menjalani hubungan ini, suami Evi sudah beberapa bulan merantau di pulau lain untuk sebuah proyek di bidang jurnalistik dan pertelevisian. Keakraban yang dengan cepat membuat mereka saling simpati atas kondisi rumah tangga masing-masing dan akhirnya jatuh hati. 

Akhirnya, terjadilah bencana mahligai rumah tangga itu: perselingkuhan.
 
Suamiku, sebut saja namanya Hari, menyatakan keinginannya untuk nantinya mempersunting Evi. Hajadnya ini akan dilakukan setelah Evi mengajukan cerai dan berpisah dengan suaminya yang masih berkutat dengan proyeknya di perantauan dan berbagai permasalahan yang membelitnya, khususnya masalah ekonomi. Sontak kaget dan hampir saja jantungku yang lemah tak bisa menerima kenyataan ini. Perempuan mana sih di dunia ini yang rela untuk dipoligami? Perempuan mana sih di dunia ini yang mampu menghadapi kenyataan suaminya berniat untuk beristri lagi? Dan yang lebih membuatku terkejut dan tak habis pikir adalah pilihan suamiku pada peremempuan yang notabene masih berstatus istri orang lain. 

Luar biasa cobaan ini kurasakan. Namun aku mencoba untuk tegar menghadapinya, karena bukan hanya aku saja yang akan terpukul dan terpuruk jika menerima musibah ini, tetapi juga kedua orang tuaku yang juga sedang sakit-sakitan. Tentunya mereka akan terpukul menerima kenyataan anak perempuannya akan dipoligami atau bahkan bercerai dan menjadi janda. Adit, anakku pun juga akan mengalami kekecewaan yang besar terhadap kami apabila aku tak kuat menghadapi cobaan ini dan memilih untuk bercerai. Aku pun meminta waktu untuk mempertimbangkan keinginan suamiku ini.
 
Setelah waktu demi waktu berjalan dan didera berbagai kebimbangan, ia datang lagi padaku dengan wajah penuh penyesalan, “Ma, ternyata Evi hanya memanfaatkanku. Dia memilih untuk bersama orang lain setelah perceraian dengan suaminya terjadi. Orang lain yang lebih mampu memberikan segala yang diinginkannya. Aku minta maaf, Ma ... terimalah aku kembali.”
 
Kalimat yang sebenarnya bisa kuartikan sebagai penghinaan terbesar dalam hidupku sebagai perempuan, seorang ibu dan seorang istri. Karena berarti dia kembali hanya karena Evi, kekasih yang menjanjikannya cinta yang lebih baik, kini telah pergi bersama laki-laki lainnya. Namun, sebelum bibirku meluncurkan kata ‘rasain lu’ atau caci maki sejenisnya, sebersit bayangan muka anakku yang sampai detik terakhir tak pernah tahu perselingkuhan ayahya, wajah kedua orang tuaku yang sudah renta, mampu mengurungkan niatku.

Aku pun hanya diam serta mengangguk saja. Ya, diamku yang mewakili puncak kegoncangan batin yang selama beberapa saat telah membolak-balikan duniaku dalam hampir setahun. Drama perselingkuhan yang hampir memporakporandakan bak guncangan badai menghantam kapal rumah tanggaku. Diamku adalah sebentuk kemenangan ‘semu’ karena berbaur juga dengan luka paling sakit yang pernah kurasakan sepanjang hidupku. Sedang anggukan kecil nan kaku yang terjadi seolah spontan, bukanlah melulu mengiyakan permohonan Hari untuk kembali ke pangkuanku, namun lebih pada persetujuan kepada ‘tantangan’ Sang Nasib yang seolah berkata, “Rin, kuatkah dirimu menjalani takdirmu ini?” 
 
Kini, 3 tahun berselang dari saat Hari memohon untuk kembali, rumah tangga kami tetap utuh walau sudah tak seperti dulu lagi. Bukan hanya karena perselingkuhan dengan Evi yang telah dilakukannya saja, namun juga karena sebuah pemahaman yang muncul dalam diri masing-masing kami, yang mendewasakan sekaligus menorehkan tanda bekas luka tak tersembuhkan di hatiku. 
“Hidup itu pilihan, dan saat kamu harus memilih keputusan terpenting dalam hidupmu, pahit, getir, pedih sekalipun harus dipertanggungjawabkan.” 

Dipertanggungjawabkan dalam diam dan sebuah anggukan kepada setiap takdir yang diberikan oleh Sang Pemberi Peran.



Baca Juga:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar